Hasbir Paserangi
Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Makassar
Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10
Makassar
Nama : Fitri
Oktaviani
NPM : 22211922
Kelas : 2EB08
Hasil
Penelitian
Pengaturan
hak Cipta Yang Mencerminkan Prinsip-Prinsip Dalam TRIPs
Peratutran
perundang-undangan di bidang HKI mengikuti laju perkembangan teknologi,
industri dan perdagangan. Konvensi Berne untuk Perlindungan Karya Sastra dan
Seni (Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works) telah
beberapa kali diubah, yaitu tahun 1908, 1928, 1948 dan 1971. Hal seperti ini
pun dialami oleh Indonesia.
Contohnya,
Indonesia sudah empat kali merevisi UU Hak Cipta, dimulai dengan UU No. 6 Tahun
1982, UU No. 7 Tahun 1987, UU No. 12 Tahun 1997 dan terakhir UUHC. Sama halnya
dengan Cina pada tahun 2001 telah merevisi UUHC (1991) dan kemudian 1 Januari
2002 mulai memberlakukan Peraturan Perlindungan Piranti Lunak Komputer sebagai
pelengkap UUHC (2001).
Perkembangan
Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Cipta
M.
Djumhana menjelaskan bahwa doktrin-doktrin yang berkembang dalam perlindungan
Hak Cipta yaitu : 1) Doktrin Publisitas (Right of Publicity); 2) Making
Available Right and Merchandising Right; 3) Doktrin Penggunaan yang Pantas
(Fair Use/Fair Dealing); 4) Doktrin Kerja Atas Dasar Sewa (The Work Made for
Hire Doctrine); 5) Perlindungan (Hak) Karakter; 6) Pengetahuan Tradisional (Traditional
Knowledge); 7) Cakupan-cakupan Baru dalam Perlindungan Hak Cipta; 8) Software
Free, Copyleft, Open Source.
UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
mencakup: 1) perlindungan terhadap database; 2) pengaturan tentang penggunaan
sarana informasi teknologi seperti cakram optik (optical disc); 3) pencantuman
hak informasi manajemen elektronika dan sarana kontrol teknologi; 4)
perlindungan terhadap produk-produk yang menggunakan sarana produksi
berteknologi tinggi dan juga mekanisme pengawasan perlindungan tersebut.
Menurut
F.W.Grosheide, Professor Intellectual Property Law Faculty of Law, Economics
and Governance Mollengraaff Institute of Privat Law Utrecht University,
menjelaskan bahwa perkembangan perlindungan terhadap karya cipta software /
program komputer dimulai dari Konversi Bern tahun 1971. Digolongkannya program
komputer sebagai hasil karya yang berbasis teks atau tulisan (Literary Works)
menurut Konversi Bern karena adanya proses penulisan kode-kode perintah
(coding) dari pencipta yang memerlukan selain penguasaan pengetahuan yang cukup
dalam teknik dan bahasa pemrograman juga kesabaran dalam penulisan kode-kode
tersebut, sehingga menghasilkan source code yang berupa teks yang hanya dapat
dimengerti oleh ahlinya.
Free
Software, Copyleft, Open Source
Menurut
Budi Rahardjo, gerakan copyleft merupakan gerakan anti terhadap copyright.
“Copyleft” merupakan pelesetan dari kata “copyright”, di mana kata “right”
(yang diartikan sebagai kanan) digantikan “left” (yang diartikan sebagai kiri).
Selain itu, “left” juga diartikan sebagai “ditinggalkan” di mana karya yang
copyleft tersebut harus ditinggalkan dalam bentuk sebelumnya dan tidak dapat
diikutsertakan dalam copyright berikutnya.
Gerakan
free software dimotori oleh Richard Stallman dari MIT yang merasa bahwa
software harusnya bersifat free yang maksudnya adalah “software bebas”. Richard
Stallman mengimplementasikan free software ini dalam bentuk software-software
yang diberi nama GNU.
Gerakan
open source mulai terlihat seiring dengan populernya OS Linux yang dikembangkan
oleh Linus Torvals. Sumber dari software yang disebut source code merupakan
inti dan fungsi software. Gerakan open source justru membuka source code yang
mulanya dianggap sebagai aset bagi sebuah perusahaan software sehingga dia
dijaga mati-matian agar tidak dilihat oleh kompetitor dari software-software yang dikembangkan dapat dilihat oleh siapa
pun. Perlu diingat bahwa software yang open source bukan berarti harus gratis
(tidak bayar) dan masih bisa menggunakan perlindungan copyright (bahwa code ini
hak ciptanya dimiliki oleh programmer).
Berdasarkan
data survey International Data Cororation (IDC) tahun 2007, Indonesia berada
pada urutan ke 12 dari 108 negara dengan angka penggunaan software ilegal
mencapai 84%. Ini menunjukkan perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya yakni
tahun 2006 yang mencapai 85%. Meskipun begitu, tingkat pembajakan software
ilegal hanya bisa dikurangi 1% saja dalam waktu satu tahun dari tahun
2006-2007. Dapat disimpulkan bahwa tingkat pembajakan software masih tinggi di
Indonesia.
Presiden
Brazil, Luiz Inacio Lula da Silva, mencanangkan negaranya untuk menggunakan
software open source agar dapat menghemat penggunaan uang negara. Hal ini juga
pernah dicanangkan oleh bangsa Indonesia dengan program IGOS (Indonesian Go
Open Source), namun hingga saat ini tidak jelas bagaimana kelanjutan program
ini.
SUMBER JURNAL : http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/13_Hasbir%20Paserangi.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar