Minggu, 19 Januari 2014

Cerita Pendek

Tolong Aku ......
Karya : Fitri Oktaviani



            Namaku Vina, seorang mahasiswi tingkat 3 di salah satu universitas swasta di Bandung. Karena sedang libur kuliah, Aku memilih untuk membantu Mama mengepak perabotan rumah. Aku harus rela meninggalkan rumah yang sudah kutempati sejak aku lahir dan pindah ke Jakarta, karena Papa dipindahtugaskan ke kantor pusat, 
            “Vin, barang-barang yang ada di kamar kamu sudah dimasukkan ke dalam kardus semua ? Sebentar lagi mobilnya datang, jangan sampai ada yang tertinggal,” tanya Mama.
            “Tenang Ma, semuanya udah aku masukkin ke kardus kok. Tuh, kardusnya aku taruh di ruang tamu supaya engga kelupaan,” Aku menjawab pertanyaan Mama sambil tetap mencari barang-barang yang masih bisa ditaruh di dalam kardus.
            Mobil yang dimaksud Mama sudah datang. Sebuah mobil boks berukuran besar yang akan mengangkut semua perabotan di rumah ini menuju ke rumah kami yang baru. Satu per satu perabotan dan kardus dimasukkan ke dalam mobil boks. Setelah semuanya selesai, mobil boks itu langsung berangkat menuju Jakarta sedangkan aku dan Mama tetap tinggal disini menunggu Papa pulang dari kantor.


* * * * *

            Rumah yang akan kami tempati ini berada di ujung jalan area kompleks di daerah pinggiran Jakarta. Rumah berukuran cukup besar berlantai 2 dengan gaya klasik lengkap dengan halaman yang luas dan taman yang dipenuhi berbagai macam bunga. 
            Saat pertama kali melihat rumah ini, Aku sedikit terkejut. Tak menyangka akan tinggal di sini. Sekilas Aku melirik kedua orangtuaku namun tidak terlihat adanya ekspresi yang aneh dari mereka.
             “Bagaimana menurut kamu, Vin ? Rumahnya bagus kan ?” tanya Papa sambil mengajak kami untuk masuk ke dalam rumah itu. Aku menganggukkan kepala untuk menjawab pertanyaan Papa. Sesekali aku menoleh ke kiri dan kanan untuk melihat suasana di sekitar rumah ini sambil mengikuti langkah kedua orangtuaku. Sepi. Di seberang jalan hanya ada tanah kosong dengan beberapa pohon yang bergoyang-goyang tertiup angin di sore hari.

            Baru 6 jam Aku berada di rumah ini dan waktu mulai menunjukkan pukul 21.00 WIB. Aku sedang mengelilingi kamar baruku yang berada di lantai atas. Sejujurnya aku menyukai kamar ini. Ukurannya 2 kali lipat lebih besar dari kamarku yang dulu. Di dalamnya juga terdapat toilet kering yang dilengkapi bathtube dan shower.
            Aku bangun dari tempat tidurku dan menuju sebuah lemari berukuran sedang yang berisi koleksi komik dan novel, ada horor dan juga roman. Kuambil sebuah komik My Beloved Bodyguard karangan Sugishippo, salah satu komik favoritku, dan kembali duduk bersandar di tempat tidur seraya membuka sampul depan komik tersebut.
            “Vinaa....Vina....,” sejenak Aku terdiam. Ada yang memanggilku. Suara itu adalah suara perempuan, tapi kuyakini itu bukan suara Mama. “Vinaa..Vina......”
Secepat mungkin Aku keluar dari kamar ini dan berlari menuju lantai bawah. Kuhampiri Papa yang sedang duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi buatan Mama.
            “Tadi Mama manggil Vina ya ?” Mama menggeleng sambil berkata,”Mama kan dari tadi disini sama Papa. Memangnya kenapa ?”
            “Engga apa-apa kok, Ma. Aku pikir Mama manggil Vina, soalnya tadi Aku mendengar ada suara yang memanggil namaku,” jelasku kepada Mama.
Berarti benar yang tadi itu bukan suara Mama. Mungkin Aku sedang berhalusinasi, batinku sambil berjalan kembali ke kamarku. Hilang sudah semangatku untuk membaca komik malam ini. Aku segera merebahkan tubuhku di tempat tidur dan kupejamkan mata.
            Malam ini Aku mendapat bunga tidur. Aku berdiri di sebuah lahan kosong tepat di depan rumahku. Bukan, itu bukan rumahku. Cat rumahku berwarna peach, bukan putih. Kalau itu bukan rumahku, lalu dimana Aku sekarang ? Tidak mungkin Aku kembali ke masa lalu.
            Deg! Aku terkejut saat melihat ada seorang anak perempuan, mungkin umurnya 15 tahun, sedang berdiri di hadapanku secara tiba-tiba. Dia memandangku dengan sorot matanya yang muram. “Tolong Aku.... Aku mohon tolonglah Aku,” pintanya sambil menangis. Perlahan anak perempuan itu berjalan mendekatiku. “Kamu siapa ? Tidak, jangan mendekatiku. Pergi kamu!!” teriakku.  
            Aku terbangun saat jam weker di samping tempat tidurku berbunyi. Jam 04.00 WIB. Aku bangkit dari tempat tidurku dan melangkah menuju kamar mandi untuk berwudhu sebelum melaksanakan sholat subuh.

            Setelah merapikan kamar dan mandi, aku melangkah menuruni anak tangga menuju dapur.  Aktivitasku hari ini dimulai dengan membantu Mama menyiapkan sarapan.
            “Kamu semangat banget hari ini. Tidur nyenyak kan semalam?” tanya Papa yang ternyata sudah menunggu sarapan di meja makan. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan Papa. Kuputuskan untuk menceritakan kejadian semalam kepada siapapun.
            Selesai sarapan, Papa segera berangkat ke kantornya yang baru. Sekarang Mama sedang asyik merawat tanamannya sambil sesekali menyapa warga komplek yang kebetulan lewat di depan rumah. Sedangkan Aku hanya duduk manis di depan televisi dengan setoples besar kripik kentang di pangkuan. Libur kuliah memang saat yang tepat untuk bersantai.
            “Vinaaa.... Vinaaa... Tolong Aku.... Kumohon.” Suara itu lagi. Kukencangkan volume audio televisi agar Aku tidak mendengar suara perempuan itu. Aku terus berusaha untuk tidak menghiraukan anak perempuan itu. Aku tidak mengenal dan tidak mau mengenalnya. Tidak akan pernah !
            Tak terasa sudah sebulan Aku tinggal disini. Sudah sebulan Aku dihantui anak perempuan itu. Bahkan sekarang dia mulai berani menampakkan sosoknya dihadapanku, meskipun siang hari.
            Seminggu yang lalu, dia menampakkan diri saat Aku sedang bersantai membaca buku di kamarku. Ada satu hal yang kusadari saat itu, dia tidak pernah menggangguku ataupun orangtuaku, dia hanya meminta bantuanku. Walaupun takut, tapi Aku mencoba memberanikan diri untuk berkomunikasi dengannya. “Kamu siapa? Kenapa kamu minta tolong sama Aku?” Aku bertanya sambil tetap menjaga jarak dengannya.
            “Vinaaa... Tolong Aku...” Anak perempuan itu selalu mengatakan hal yang sama berulang kali. Tolong Aku dan kumohon. Dan sosok itu selalu berdiri di tempat yang sama. Di samping pohon yang ada di tanah kosong depan rumah dan terus menatap rumah ini dengan ekspresi yang sangat menyedihkan. Tidak lama kemudian, sesaat setelah sosok itu menhilang, aku melihat sebuah buku diary tergeletak di atas meja belajarku. Halaman demi halaman kubuka namun hanya ada tulisan “Vina, Aku mohon tolonglah Aku. Sempurnakan Aku.”  
            Merasa iba, kuputuskun untuk mulai mencari informasi kepada para tetangga tentang identitas pemilik rumah yang kami tempati sekarang. Mulai dari tetangga sebelah rumah, satpam komplek hingga tukang sayur yang biasa berjualan di komplek ini. Aku juga sempat bertanya kepada orangtuaku tentang identitas penjual rumah ini.
            “Waktu itu Papa beli rumah ini dari Pak Darto. Tapi setelah urusan jual-beli rumah ini selesai, Papa tidak pernah lagi bertemu dengan beliau. Memangnya ada apa, kok tiba-tiba kamu bertanya hal ini sama Papa?” jelas Papa sambil mengerutkan dahi.
Mungkin ini saatnya Aku menceritakan semua kejadian yang Aku alami ke orangtuaku. Kuceritakan pula tentang anak perempuan yang sering meminta tolong padaku.
            Dari tetangga sebelah rumah, aku mendapat informasi tentang pemilik rumah ini sebelum kami, yaitu Pak Darto. Nama ini sama dengan nama yang kudapat dari Papa.
“Pak Darto itu sudah lama tinggal disini bersama istri dan anak perempuannya. Kurang lebih satu tahun yang lalu istrinya meninggal dunia. Tidak ada yang tahu penyebab kematian Bu Darto, termasuk saya. Beberapa bulan setelah itu, kami juga tidak pernah lagi bertemu dengan Rena, anak perempuan Pak Darto. Katanya sih Rena pindah ke Bogor dan tinggal sama neneknya. Kabar terakhir yang saya dengar dari warga disini, setelah Pak Darto menjual rumahnya, beliau juga bunuh diri dengan loncat ke sungai yang letaknya tidak jauh dari komplek ini. Jasadnya ditemukan oleh tim SAR 2 hari kemudian,” tante Erni, tetangga sebelah rumah,  menjelaskan kepadaku dengan detail mengenai identitas pemilik rumah sebelum kami.
            Aku juga sempat bertanya kepada ketua RT komplek ini dan beliau juga menceritakan hal yang mirip dengan yang kudengar dari tante Erni. Beliau juga sempat menunjukkan kepadaku foto keluarga Pak Darto. Anak perempuan ini yang selalu meminta tolong kepadaku. Ini pasti Rena, batinku di dalam hati.
            Pengumpulan informasi selama seminggu hampir mendapatkan titik terang. Menurutku ada yang tidak beres dengan sikap Pak Darto sebelum beliau bunuh diri. Semua informasi yang kudapatkan, sudah kuceritakan kepada orangtuaku.

            * * * * *

            Semalam aku kembali bermimpi. Mimpi yang sama dengan pertama kali aku bertemu anak perempuan itu. Aku berdiri di tanah kosong itu lagi menghadap ke arah rumah bercat putih, rumah Pak Darto sebelum dibeli oleh Papa. Aku seperti kembali ke masa lalu. Adegan demi adegan yang terjadi dahulu dapat kulihat dengan jelas. “Aku sudah tahu sekarang. Ren, Aku janji akan menyempurnakanmu,” janjiku kepada Rena.
            Jam 06.00 WIB kuceritakan semua yang kulihat semalam kepada orangtuaku. Semula mereka tidak percaya, bahkan Papa mengatakan bahwa aku hanya mengigau karena terlalu lelah. Tapi karena melihat sikapku yang sangat yakin, Mama pun dengan sikap yang bijak berusaha membujuk Papa untuk mempercayai apa yang kukatakan. Mama juga meminta Papa untuk menghubungi polisi.
            Dua jam kemudian, beberapa personil kepolisian datang ke rumah kami dengan membawa dua anjing pelacak untuk memudahkan pencarian. Beberapa tetangga dan Ketua RT juga mendatangi rumah kami untuk melihat apa yang terjadi sebenarnya. Hampir dua jam lamanya para polisi dan anjing pelacak menyisiri rumah ini. Kedua anjing pelacak itu akhirnya berhenti di pojokan taman sambil terus mengendus-enduskan indra penciumannya dan menggonggong. Tiga orang polisi yang lain segera menggali area tersebut.
            Deg! Deg! Deg! Jantungku berdegup sangat kencang dan sekujur tubuhku terasa lemas saat kulihat polisi-polisi itu mengangkat jasad anak perempuan. Itu pasti jasad Rena. Lokasi yang sama dengan yang kulihat di dalam mimpi semalam, batinku. Setelah dilakukan proses identifikasi oleh bagian forensik, para warga komplek langsung bersiap untuk memandikan, menyolatkan serta menguburkan jasad Rena.
            Sejam sudah berlalu sejak selesainya proses pemakaman Rena dan Aku masih terduduk lemas di sofa ruang tamu ditemani oleh Mama. Kulihat seorang polisi muda yang merupakan ketua tim tersebut, berjalan menghampiriku. Mama mempersilakan polisi itu duduk berhadapan denganku dan mulai menginterogasi.
            “Sudah sebulan kami tinggal disini dan anak perempuan itu selalu memanggil namaku. Dia juga memohon padaku untuk menolongnya. Awalnya selalu kuabaikan hingga pada akhirnya seminggu yang lalu Aku menemukan buku diary sesaat setelah dia menghilang dari kamarku. Saat kubuka diary itu, tidak ada tulisan apapun selain kalimat yang berisi permohonan untuk menolongnya. Mulai dari situ aku mencoba mengumpulkan informasi mengenai identitas pemilik rumah ini sebelum kami. Dari informasi yang kudapat dari warga komplek serta Ketua RT, pemilik rumah ini dulunya bernama Pak Darto,” kujelaskan semua yang kuketahui kepada polisi itu.
            “Pak Darto sudah meninggal setengah tahun yang lalu karena bunuh diri,” ujar polisi itu. “Itu benar. Aku tahu hal itu. Bukan hanya dari warga komplek, tapi Aku melihat sendiri kejadiannya,” Aku memotong ucapan polisi itu.
            “Semalam aku kembali bermimpi yang sama dengan hari pertama aku bertemu anak perempuan itu. Aku berdiri di tanah kosong sambil menghadap ke rumah yang saat itu masih milik Pak Darto. Kemudian Aku berjalan menuju halaman rumah. Aku melihat Pak Darto dan istrinya bertengkar hebat. Aku tidak tahu apa alasannya. Lalu Aku melihat Pak Darto meracuni istrinya. Memang racun itu tidak langsung membunuh istrinya. Tiga jam kemudian istrinya meninggal dan dokter yang memeriksa keadaan Bu Darto mengatakan bahwa korban mengalami kegagalan fungsi jantung dan paru-parunya. Anak perempuan mereka yang bernama Rena tidak sengaja menemukan racun di kamar ayahnya, satu setengah bulan setelah ibunya meninggal. Rena yang sangat marah kepada ayahnya karena sengaja membunuh ibu yang dicintainya, mengancam akan melaporkan Pak Darto ke kantor polisi. Tidak terima diancam seperti itu, Pak Darto langsung memukul Rena hingga terjatuh dan kepalanya membentur tembok. Rena jatuh pingsan. Dengan gelap mata dan takut ketahuan warga, saat tengah malam Pak Darto menggali tanah di taman untuk mengubur Rena. Rena dikubur hidup-hidup malam itu. Pak Darto mengatakan kepada warga komplek bahwa Rena sudah pindah ke Bogor dan tinggal bersama neneknya. Beberapa minggu kemudian, Pak Darto mulai dihantui oleh arwah Rena yang menangis meminta tolong kepadanya. Pak Darto memutuskan untuk menjual rumah ini dengan harapan dia tidak akan diganggu lagi oleh Rena. Setelah rumah ini dijual olehnya, Pak Darto makin kehilangan akal sehat. Beliau makin diganggu oleh arwah Rena yang semakin marah padanya, hingga kemudian Pak Darto memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat ke dalam sungai yang arus airnya cukup kencang saat itu,” semua adegan yang kulihat di dalam mimpi semalam sudah kuceritakan pada polisi itu.     
                       
* * * * *

            Aku berdiri di balkon kamarku sambil menikmati dinginnya tiupan angin di malam hari. Untuk pertama kalinya selama tinggal di rumah ini, Aku merasa tenang berada di rumah ini. “Vinaaaa.....,” itu suara Rena. Mataku tertuju pada sosok anak perempuan yang selalu berdiri di tanah kosong itu. “Terimakasih sudah menolongku. Aku sudah tenang sekarang. Selamat tinggal,” Rena tersenyum sebelum sosoknya mulai menghilang. Selamat jalan, Rena. Aku pasti akan selalu berdoa untukmu, bisikku di dalam hati sambil tersenyum memandang Rena yang mulai tak terlihat lagi sosoknya.

* * * * *
 


  

Tidak ada komentar: