Tolong Aku ......
Karya : Fitri
Oktaviani
Namaku Vina, seorang mahasiswi
tingkat 3 di salah satu universitas swasta di Bandung. Karena sedang libur
kuliah, Aku memilih untuk membantu Mama mengepak perabotan rumah. Aku harus
rela meninggalkan rumah yang sudah kutempati sejak aku lahir dan pindah ke
Jakarta, karena Papa dipindahtugaskan ke kantor pusat,
“Vin, barang-barang yang ada di
kamar kamu sudah dimasukkan ke dalam kardus semua ? Sebentar lagi mobilnya
datang, jangan sampai ada yang tertinggal,” tanya Mama.
“Tenang Ma, semuanya udah aku
masukkin ke kardus kok. Tuh, kardusnya
aku taruh di ruang tamu supaya engga kelupaan,”
Aku menjawab pertanyaan Mama sambil tetap mencari barang-barang yang masih bisa
ditaruh di dalam kardus.
Mobil yang dimaksud Mama sudah
datang. Sebuah mobil boks berukuran besar yang akan mengangkut semua perabotan
di rumah ini menuju ke rumah kami yang baru. Satu per satu perabotan dan kardus
dimasukkan ke dalam mobil boks. Setelah semuanya selesai, mobil boks itu
langsung berangkat menuju Jakarta sedangkan aku dan Mama tetap tinggal disini
menunggu Papa pulang dari kantor.
* * * * *
Rumah yang akan kami tempati ini
berada di ujung jalan area kompleks di daerah pinggiran Jakarta. Rumah
berukuran cukup besar berlantai 2 dengan gaya klasik lengkap dengan halaman
yang luas dan taman yang dipenuhi berbagai macam bunga.
Saat pertama kali melihat rumah ini,
Aku sedikit terkejut. Tak menyangka akan tinggal di sini. Sekilas Aku melirik
kedua orangtuaku namun tidak terlihat adanya ekspresi yang aneh dari mereka.
“Bagaimana menurut kamu, Vin ? Rumahnya bagus
kan ?” tanya Papa sambil mengajak kami untuk masuk ke dalam rumah itu. Aku
menganggukkan kepala untuk menjawab pertanyaan Papa. Sesekali aku menoleh ke
kiri dan kanan untuk melihat suasana di sekitar rumah ini sambil mengikuti
langkah kedua orangtuaku. Sepi. Di seberang jalan hanya ada tanah kosong dengan
beberapa pohon yang bergoyang-goyang tertiup angin di sore hari.
Baru 6 jam Aku berada di rumah ini
dan waktu mulai menunjukkan pukul 21.00 WIB. Aku sedang mengelilingi kamar
baruku yang berada di lantai atas. Sejujurnya aku menyukai kamar ini. Ukurannya
2 kali lipat lebih besar dari kamarku yang dulu. Di dalamnya juga terdapat
toilet kering yang dilengkapi bathtube dan
shower.
Aku bangun dari tempat tidurku dan
menuju sebuah lemari berukuran sedang yang berisi koleksi komik dan novel, ada
horor dan juga roman. Kuambil sebuah komik My
Beloved Bodyguard karangan Sugishippo, salah satu komik favoritku, dan
kembali duduk bersandar di tempat tidur seraya membuka sampul depan komik
tersebut.
“Vinaa....Vina....,” sejenak Aku
terdiam. Ada yang memanggilku. Suara itu adalah suara perempuan, tapi kuyakini
itu bukan suara Mama. “Vinaa..Vina......”
Secepat
mungkin Aku keluar dari kamar ini dan berlari menuju lantai bawah. Kuhampiri Papa
yang sedang duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi buatan Mama.
“Tadi Mama manggil Vina ya ?” Mama
menggeleng sambil berkata,”Mama kan dari tadi disini sama Papa. Memangnya
kenapa ?”
“Engga apa-apa kok, Ma. Aku pikir Mama manggil Vina, soalnya tadi Aku mendengar
ada suara yang memanggil namaku,” jelasku kepada Mama.
Berarti benar yang tadi itu
bukan suara Mama. Mungkin Aku sedang berhalusinasi, batinku
sambil berjalan kembali ke kamarku. Hilang sudah semangatku untuk membaca komik
malam ini. Aku segera merebahkan tubuhku di tempat tidur dan kupejamkan mata.
Malam ini Aku mendapat bunga tidur. Aku berdiri di sebuah lahan
kosong tepat di depan rumahku. Bukan, itu bukan rumahku. Cat rumahku berwarna peach, bukan putih. Kalau itu bukan
rumahku, lalu dimana Aku sekarang ? Tidak mungkin Aku kembali ke masa lalu.
Deg! Aku terkejut saat melihat ada seorang anak perempuan, mungkin
umurnya 15 tahun, sedang berdiri di hadapanku secara tiba-tiba. Dia memandangku
dengan sorot matanya yang muram. “Tolong Aku.... Aku mohon tolonglah Aku,”
pintanya sambil menangis. Perlahan anak perempuan itu berjalan mendekatiku.
“Kamu siapa ? Tidak, jangan mendekatiku. Pergi kamu!!” teriakku.
Aku terbangun saat jam weker di samping
tempat tidurku berbunyi. Jam 04.00 WIB. Aku bangkit dari tempat tidurku dan
melangkah menuju kamar mandi untuk berwudhu sebelum melaksanakan sholat subuh.
Setelah merapikan kamar dan mandi,
aku melangkah menuruni anak tangga menuju dapur. Aktivitasku hari ini dimulai dengan membantu
Mama menyiapkan sarapan.
“Kamu semangat banget hari ini.
Tidur nyenyak kan semalam?” tanya Papa yang ternyata sudah menunggu sarapan di
meja makan. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan Papa. Kuputuskan untuk
menceritakan kejadian semalam kepada siapapun.
Selesai sarapan, Papa segera
berangkat ke kantornya yang baru. Sekarang Mama sedang asyik merawat tanamannya
sambil sesekali menyapa warga komplek yang kebetulan lewat di depan rumah. Sedangkan
Aku hanya duduk manis di depan televisi dengan setoples besar kripik kentang di
pangkuan. Libur kuliah memang saat yang tepat untuk bersantai.
“Vinaaa.... Vinaaa... Tolong Aku....
Kumohon.” Suara itu lagi. Kukencangkan volume audio televisi agar Aku tidak
mendengar suara perempuan itu. Aku terus berusaha untuk tidak menghiraukan anak
perempuan itu. Aku tidak mengenal dan tidak mau mengenalnya. Tidak akan pernah !
Tak terasa sudah sebulan Aku tinggal
disini. Sudah sebulan Aku dihantui anak perempuan itu. Bahkan sekarang dia
mulai berani menampakkan sosoknya dihadapanku, meskipun siang hari.
Seminggu yang lalu, dia menampakkan
diri saat Aku sedang bersantai membaca buku di kamarku. Ada satu hal yang
kusadari saat itu, dia tidak pernah menggangguku ataupun orangtuaku, dia hanya
meminta bantuanku. Walaupun takut, tapi Aku mencoba memberanikan diri untuk
berkomunikasi dengannya. “Kamu siapa? Kenapa kamu minta tolong sama Aku?” Aku
bertanya sambil tetap menjaga jarak dengannya.
“Vinaaa... Tolong Aku...” Anak
perempuan itu selalu mengatakan hal yang sama berulang kali. Tolong Aku dan
kumohon. Dan sosok itu selalu berdiri di tempat yang sama. Di samping pohon
yang ada di tanah kosong depan rumah dan terus menatap rumah ini dengan
ekspresi yang sangat menyedihkan. Tidak lama kemudian, sesaat setelah sosok itu
menhilang, aku melihat sebuah buku diary tergeletak di atas meja belajarku.
Halaman demi halaman kubuka namun hanya ada tulisan “Vina, Aku mohon tolonglah
Aku. Sempurnakan Aku.”
Merasa iba, kuputuskun untuk mulai
mencari informasi kepada para tetangga tentang identitas pemilik rumah yang
kami tempati sekarang. Mulai dari tetangga sebelah rumah, satpam komplek hingga
tukang sayur yang biasa berjualan di komplek ini. Aku juga sempat bertanya
kepada orangtuaku tentang identitas penjual rumah ini.
“Waktu itu Papa beli rumah ini dari
Pak Darto. Tapi setelah urusan jual-beli rumah ini selesai, Papa tidak pernah
lagi bertemu dengan beliau. Memangnya ada apa, kok tiba-tiba kamu bertanya hal ini sama Papa?” jelas Papa sambil
mengerutkan dahi.
Mungkin
ini saatnya Aku menceritakan semua kejadian yang Aku alami ke orangtuaku.
Kuceritakan pula tentang anak perempuan yang sering meminta tolong padaku.
Dari tetangga sebelah rumah, aku
mendapat informasi tentang pemilik rumah ini sebelum kami, yaitu Pak Darto.
Nama ini sama dengan nama yang kudapat dari Papa.
“Pak
Darto itu sudah lama tinggal disini bersama istri dan anak perempuannya. Kurang
lebih satu tahun yang lalu istrinya meninggal dunia. Tidak ada yang tahu
penyebab kematian Bu Darto, termasuk saya. Beberapa bulan setelah itu, kami
juga tidak pernah lagi bertemu dengan Rena, anak perempuan Pak Darto. Katanya
sih Rena pindah ke Bogor dan tinggal sama neneknya. Kabar terakhir yang saya
dengar dari warga disini, setelah Pak Darto menjual rumahnya, beliau juga bunuh
diri dengan loncat ke sungai yang letaknya tidak jauh dari komplek ini.
Jasadnya ditemukan oleh tim SAR 2 hari kemudian,” tante Erni, tetangga sebelah
rumah, menjelaskan kepadaku dengan detail
mengenai identitas pemilik rumah sebelum kami.
Aku juga sempat bertanya kepada
ketua RT komplek ini dan beliau juga menceritakan hal yang mirip dengan yang
kudengar dari tante Erni. Beliau juga sempat menunjukkan kepadaku foto keluarga
Pak Darto. Anak perempuan ini yang selalu
meminta tolong kepadaku. Ini pasti Rena, batinku di dalam hati.
Pengumpulan informasi selama
seminggu hampir mendapatkan titik terang. Menurutku ada yang tidak beres dengan
sikap Pak Darto sebelum beliau bunuh diri. Semua informasi yang kudapatkan,
sudah kuceritakan kepada orangtuaku.
* * * * *
Semalam aku kembali bermimpi. Mimpi
yang sama dengan pertama kali aku bertemu anak perempuan itu. Aku berdiri di
tanah kosong itu lagi menghadap ke arah rumah bercat putih, rumah Pak Darto
sebelum dibeli oleh Papa. Aku seperti kembali ke masa lalu. Adegan demi adegan
yang terjadi dahulu dapat kulihat dengan jelas. “Aku sudah tahu sekarang. Ren,
Aku janji akan menyempurnakanmu,” janjiku kepada Rena.
Jam 06.00 WIB kuceritakan semua yang
kulihat semalam kepada orangtuaku. Semula mereka tidak percaya, bahkan Papa
mengatakan bahwa aku hanya mengigau karena terlalu lelah. Tapi karena melihat
sikapku yang sangat yakin, Mama pun dengan sikap yang bijak berusaha membujuk
Papa untuk mempercayai apa yang kukatakan. Mama juga meminta Papa untuk
menghubungi polisi.
Dua jam kemudian, beberapa personil
kepolisian datang ke rumah kami dengan membawa dua anjing pelacak untuk
memudahkan pencarian. Beberapa tetangga dan Ketua RT juga mendatangi rumah kami
untuk melihat apa yang terjadi sebenarnya. Hampir dua jam lamanya para polisi
dan anjing pelacak menyisiri rumah ini. Kedua anjing pelacak itu akhirnya
berhenti di pojokan taman sambil terus mengendus-enduskan indra penciumannya
dan menggonggong. Tiga orang polisi yang lain segera menggali area tersebut.
Deg! Deg! Deg! Jantungku berdegup
sangat kencang dan sekujur tubuhku terasa lemas saat kulihat polisi-polisi itu
mengangkat jasad anak perempuan. Itu
pasti jasad Rena. Lokasi yang sama dengan yang kulihat di dalam mimpi semalam, batinku.
Setelah dilakukan proses identifikasi oleh bagian forensik, para warga komplek
langsung bersiap untuk memandikan, menyolatkan serta menguburkan jasad Rena.
Sejam sudah berlalu sejak selesainya
proses pemakaman Rena dan Aku masih terduduk lemas di sofa ruang tamu ditemani
oleh Mama. Kulihat seorang polisi muda yang merupakan ketua tim tersebut,
berjalan menghampiriku. Mama mempersilakan polisi itu duduk berhadapan denganku
dan mulai menginterogasi.
“Sudah sebulan kami tinggal disini
dan anak perempuan itu selalu memanggil namaku. Dia juga memohon padaku untuk
menolongnya. Awalnya selalu kuabaikan hingga pada akhirnya seminggu yang lalu
Aku menemukan buku diary sesaat setelah dia menghilang dari kamarku. Saat
kubuka diary itu, tidak ada tulisan apapun selain kalimat yang berisi
permohonan untuk menolongnya. Mulai dari situ aku mencoba mengumpulkan
informasi mengenai identitas pemilik rumah ini sebelum kami. Dari informasi
yang kudapat dari warga komplek serta Ketua RT, pemilik rumah ini dulunya
bernama Pak Darto,” kujelaskan semua yang kuketahui kepada polisi itu.
“Pak Darto sudah meninggal setengah
tahun yang lalu karena bunuh diri,” ujar polisi itu. “Itu benar. Aku tahu hal
itu. Bukan hanya dari warga komplek, tapi Aku melihat sendiri kejadiannya,” Aku
memotong ucapan polisi itu.
“Semalam aku kembali bermimpi yang
sama dengan hari pertama aku bertemu anak perempuan itu. Aku berdiri di tanah
kosong sambil menghadap ke rumah yang saat itu masih milik Pak Darto. Kemudian
Aku berjalan menuju halaman rumah. Aku melihat Pak Darto dan istrinya
bertengkar hebat. Aku tidak tahu apa alasannya. Lalu Aku melihat Pak Darto
meracuni istrinya. Memang racun itu tidak langsung membunuh istrinya. Tiga jam
kemudian istrinya meninggal dan dokter yang memeriksa keadaan Bu Darto mengatakan
bahwa korban mengalami kegagalan fungsi jantung dan paru-parunya. Anak
perempuan mereka yang bernama Rena tidak sengaja menemukan racun di kamar
ayahnya, satu setengah bulan setelah ibunya meninggal. Rena yang sangat marah
kepada ayahnya karena sengaja membunuh ibu yang dicintainya, mengancam akan
melaporkan Pak Darto ke kantor polisi. Tidak terima diancam seperti itu, Pak
Darto langsung memukul Rena hingga terjatuh dan kepalanya membentur tembok.
Rena jatuh pingsan. Dengan gelap mata dan takut ketahuan warga, saat tengah
malam Pak Darto menggali tanah di taman untuk mengubur Rena. Rena dikubur
hidup-hidup malam itu. Pak Darto mengatakan kepada warga komplek bahwa Rena
sudah pindah ke Bogor dan tinggal bersama neneknya. Beberapa minggu kemudian,
Pak Darto mulai dihantui oleh arwah Rena yang menangis meminta tolong
kepadanya. Pak Darto memutuskan untuk menjual rumah ini dengan harapan dia
tidak akan diganggu lagi oleh Rena. Setelah rumah ini dijual olehnya, Pak Darto
makin kehilangan akal sehat. Beliau makin diganggu oleh arwah Rena yang semakin
marah padanya, hingga kemudian Pak Darto memutuskan untuk mengakhiri hidupnya
dengan melompat ke dalam sungai yang arus airnya cukup kencang saat itu,” semua
adegan yang kulihat di dalam mimpi semalam sudah kuceritakan pada polisi itu.
* * * * *
Aku berdiri di balkon kamarku sambil
menikmati dinginnya tiupan angin di malam hari. Untuk pertama kalinya selama
tinggal di rumah ini, Aku merasa tenang berada di rumah ini. “Vinaaaa.....,”
itu suara Rena. Mataku tertuju pada sosok anak perempuan yang selalu berdiri di
tanah kosong itu. “Terimakasih sudah menolongku. Aku sudah tenang sekarang.
Selamat tinggal,” Rena tersenyum sebelum sosoknya mulai menghilang. Selamat jalan, Rena. Aku pasti akan selalu
berdoa untukmu, bisikku di dalam hati sambil tersenyum memandang Rena yang
mulai tak terlihat lagi sosoknya.
* * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar